Jumat, 19 Februari 2016

Kedatuan Luwu South Sulawesi Indonesia

Ri Toana



Sri Paduka Datu Luwu di suguhi “Akka” (suguhan) berupa 12 bosara kiaje yang masing-masing di bawa oleh seorang gadis “ Panggolo” ( pelayan ). Di dalam acara “ Mattoana “ ini, berlaku kaidah adat Luwu yang mengatakan “ Mangngati Maneng Akka’ Rakinna “ yang berarti bahwa “Akka’ “ seluruh Pada’ ( Undangan ) yang hadir mengikuti “ Akka’ “ dari  Sri Paduka Datu Luwu yang berarti bahwa apabila “Akka’ “ dari Sri Paduka Datu Luwu telah dianggap sempurna, maka tidak seorang pun yang boleh protes atas “Akka’” (suguhan ) bagi dirinya. Itu adalah simbolisme bahwa Sri Paduka Datu Luwu adalah symbol keharmonisan dan ketertiban social.




Penyambutan Tamu Kehormatan Dalam Prosesi Adat Luwu



Penyambutan tamu kehormatan dalam prosesi Adat Luwu selain bersifat Seremonial juga bersifat Ritual.
Adapun susunan acara Adat tersebut secara Kronologis aldalah sebagai berikut :
1.     Ripaduppa Lellung
      ( di sambut dengan tenda kebesaran )
2.     Ri Rettoang Awo’ La Gading
( di pasangkan Bambu Kuning )
3.     Ri Pasessu Ri Manrawe
( di Lewatkan di Manrawe )
4.     Ri Pasitangkereng Lawolo’E
( disesuaikan Lawolo’E )
5.     Ri Pabbisa Aje
( di Cuci Kakinya )
6.     Ri Palejja’ Tana Menroja
( di injakkan pada tanah yang di sucikan )
7.     Ri patuddu’ Umpa Sikati
( di hentakkan kakinya di atas sumpah suci )
8.     Ri Watalawolo
( di naikkan dengan Lawolo )
9.     Ri Ompori Wenno Pulaweng
( di hamburi betih keemasan )
10. Ri Pallibu’ Ri Lamming Pulaweng
( di kelilingkan di pelaminan )
11.  Ri Palejja’ Rilebba’ Janna
( di injakkan diatas ukuran telapak kaki )
12.            Ri Pakerru Sumange’
( di doakan untuk memulihkan semangat )
13.  Ri Papasangi Lingkojo Sabbe
14.  Ri Gella
15.  Ri Toana
16. Ri ajjasang
PENJELASAN
        Di depan Tabu-tabuang atau gapura pintu gerbang pintu LangkanaE ( Keraton Kedatuan Luwu ) turun dari “Sinrangeng LokkoE” atau usungan adat,lalu berdiri di bawah naungan “Lellung” (tenda kehormatan).
        Sebelum melangkah,tamu kehormatan di persilahkan oleh “Sanro Padduppa” atau dukun penjemput untuk memegang “Lola” (gelang emas yang di kaitkan pada ujung “Lawolo” (selembar kain Patala atau kain sutra kalasik berwarna merah  yang di jahit dengan selembar kain berwarna putih).
        Kemudian tamu kehormatan di persilahkan pindah di bawah naungan “Lellung” (tenda kehormatan) penjemput.
        Acara ini di sebut “Ri Padduppai Lellung” atau di sambut dengan “Lellung”. Kemudian tamu kehormatan di bombing oleh “Saqnro Padduppa”  melangkah di atas karpet yang berwarna putih di sebut “Talettu” menuju tangga LangkanaE.
        Setelah melewati tabu-tabuang maka sepasang bamboo kuning di sisi kiri dan kanan di patahkan besi-besi kecil seperti gula-gula kue-kue yang di gantungkan pada ranting bambu kuning itu di perebutkan oleh khalayak.
        Acara itu di sebut ”Rettoang Awo’ Lagading” atau “di patahkan bamboo kuning” yang bermakna symbolis bahwa kedatangan tamu kehormatan itu membawa berkah dan di sambut dengan gembira atas seluruh lapisan masyarakat.
        Setelah itu tamu kehormatan di bimbing oleh semua Padduppa melewati sebuah gerbang kecil yang terbuat dari 9 pasang tombak yang saling di silangkan. Ke 9 pasang tombak itu berwarna merah,putih,kuning dan hitam yang melambangkan empat unsure alam yaitu tanah,air,api dan udara.
        Gerbang kecil itu di sebut “Menrawe” ,karena itu acara itu di sebut “Ri Pasessu ri Manrawe” atau di ”lewatkan di Menrawe”.
        Sejak itu tamu kehormatan harus berdiam diri dan tidak boleh menyebut satu katapun sampai seluruh rangkaian ritual acara prosesi Adat penyambutan itu selesai.
        Setelah mencapai di kaki “Sapana” (tangga LangkanaE),maka tamu kehormatan berhenti sejenak,lalu terjadi dialog antara “Sanro Padduppa” dengan “Sanro Pallawolo” di bagian atas tangga Sapana.
        Dialog di dalam bahasa Bissu itu antara lain mempertanyakan siapa gerangan tamu kehormatan itu dan apa maksud kedatangannya.
        Acara itu di sebut “Ripasitangkereng LawoloE” atau penyesuaian Lawolo yang bermaksud menjelaskan kepada khalayak siapa dan apa maksud kedatangan tamu kehormatan tersebut.
        Setelah dialog itu selesai maka kedua belah kaki tamu kehormatan itu di cuci dengan air yang telah di sucikan.
                                                 
        Acara ini di sebut “Ri Pabbissa Aje” atau langkah kakinya di sucikan.Sesudah itu kedua telapak kaki tamu kehormatan tersebut di usapi dengan sejumput tanah yang telah di sucikan.
        Acara itu di sebut “Ripalejja Tana Menroja”atau di injakkan pada tanah yang suci. Hal itu bermakna bahwa tamu kehormatan itu mempersaksikan kepada tanah atau Bumi Luwu akan kesucian maksud kedatangannya.
        Kemudian tramu kehormatan di persilahkan menghentakkan kakinya di atas sebuah periuk tanah berisi beras,sebiji telur dan sekeping uang logam. Di atas periuk tanah tersebut terletak sekeping sumpah tertulis yang di sebut “Umpa Sikadi” atau Sumpah Keemasan. Hentakan kaki tamu kehormatan itu,karena cukup kuat untuk memecahkan periuk tanah tersebut dengan sekali hentakan yang melambangkan “Kebulatan hati’ dan tamu kehormatan tersebut melakukan sumpah itu “tanpa ragu”.
         Periuk berisi beras dan selembar uang melambangkan “Kesejahteraan hidup” dan tamu kehormatan yang akan pecah sampai pada keturunannya yang di lambangkan dengan sebiji telur,apabila sumpah itu tidak sesuai dengan niat suci kedatangan tamu kehormatan tersebut.Acara ini di sebut “Ripattddu Umpa Sikati” atau di hentakkan pada sumpah yang suci.
          Setelah itu,”Sanro Pallawolo” atau “Dukun Pemimpin Upacara” perlahan-lahan menarik “Lola” atau gelang emas pada ujung “Lawolo”, sementara tamu kehormatan ikut menarik tangga “Sapana” sambil tetap berpegang pada “Lola” di ujung “Lawolo” yang lain.
          Acara ini di sebut “Riwata’ Lawolo” (di naikkan dengan Lawolo), yang bermakna bahwa tamu kehormatan tersebut telah di terima secara resmi untuk mengikuti ritual penyambutan Adat Luwu selanjutnya.
          Sebelum menjadi “Lamming Pulaweng” atau “Singgasana Kedatuan Luwu”, tamu kehormatan di bombing mengelilingi “Lamming Pulaweng” sebanyak tiga kali.
          Acara ini di sebut “Ri Pallibu’ Ri Lamming Pulaweng” atau di kelilingkan di singgasana,yang bermakna bahwa; sebelum tamu kehormatan memutuskan untuk di naikkan ke atas “Lamming Pulaweng” atau singgasana maka tamu kehormatan lebih dahulu memeriksa segala seginya yang bermakna bahwa kesediaan melaksanakan ritual selanjutnya di lakukan dengan penuh kesabaran.
          Setelah merasa yakin,maka tamu kehormatan di persilahkan menginjakkan kaki di atas tiga keeping logam yang berbentuk ukuran telapak kaki dari tamu kehormatan. Di atas ketiga keping logam itu terdapat seekeping emas,perak dan perunggu. Acara ini di sebut “ Ri Palejja’ ri Lebba’ Janna” atau di injakkan pada telapak kaki suci, yang bermakna bahwa keputusan untuk menaiki singgasana untuk melakukan ritual selanjutnya di lakukan dengan “Langkah kaki” yang sudah suci.
           Setelah itu,tamu kehormatan di dudukkan di atas “Lamming Pulaweng”. Acara ini di sebut “Ri pacokkong Ri Lamming Pulaweng” atau di di dudukkan di atas singgasana.
           Setelah itu,”Sanro Pallawolo”mengentakkan sebuah kain kuning yang telah di asapi kemenyan yang di bakar ke seluruh tubuh tamu kehormatan sambil di iringi dengan mengucapkan doa keselamatan. Acara ini di sebut “Ri pekerru Sumange” (mengembalikan semangat),sebagai manifestasi dari “Pajung Luwu” dengan segenap “Dewan Adat Seppulo Dua” beserta seluruh masyarakat Adat Luwu agar semua sukma dan jiwa raga tamu kehormatan senantiasa sejahtera.
           Setelah itu,di laksanakanlah puncak acara prosesi adat penyambutan tamu kehormatan yaitu memasangkan seperangkat pakaian Adat {Luwu kepada tamu kehormatan.
           Acara ini d sebut “Ri papasangi Lingkojo Sakke” atau “di pasangi pakaian kehormatan” yang merupakan symbol penghormatan tertinggi dalam prosesi penyambutan Adat Luwu.
           Kemudian,Opu To Malompo selaku petugas Protokoler Adat Istana Kedatuan Luwu mengumumkan pemberian gelar kehormatan Adat kepada tamu kehormatan. Acara ini di sebut “Ri Gella” atau “di beri gelar”. Setelah itu acara selanjutnya lebih bersifat seremonial yaitu acara “Ritoana” (menjamu hadirin secara  Adat).
           Sri Paduka Datu Luwu di suguhi “Akka” (suguhan) berupa 12 bosara kiaje yang masing-masing di bawa oleh seorang gadis “ Panggolo” ( pelayan ). Di dalam acara “ Mattoana “ ini, berlaku kaidah adat Luwu yang mengatakan “ Mangngati Maneng Akka’ Rakinna “ yang berarti bahwa “Akka’ “ seluruh Pada’ ( Undangan ) yang hadir mengikuti “ Akka’ “ dari  Sri Paduka Datu Luwu yang berarti bahwa apabila “Akka’ “ dari Sri Paduka Datu Luwu telah dianggap sempurna, maka tidak seorang pun yang boleh protes atas “Akka’” (suguhan ) bagi dirinya. Itu adalah simbolisme bahwa Sri Paduka Datu Luwu adalah symbol keharmonisan dan ketertiban social.
            Sambil menikmati suguhan ( Akka’ ) hadirin akan dihibur dengan pertunjukan tari Pajaga. Esensi dari gerak dan irama tari Pajaga adalah latihan (exercise ), semedi ( Meditative ) berupa pengendalian diri, membangkitkan kepekaan ( Sensitiveness ) serta membangkitkan tenaga atau energi batin penarinya. Adapun tari Pajaga yang dipertunjukkan pada acara ini berjudul “ Ininnawa Mappatakko’ “. Sesuai dengan syair pengiringnya yang selengkapnya adalah sebagai berikut :
“ Ininnawa Mappatakko’
Alai-pakkawaru
Toto’ teng-lesangmu “
Yang secara bebas berarti :
“ Tabahlah wahai jiwa,
Jadikanlah pegangan hidup
Bahwa segala yang menimpa dirimu
Adalah takdir dari Yang Maha Kuasa
Yang tidak dapat dielakkan “
Sesudah pertunjukan beberapa kali tari pajaga  maka dipertunjukkan/ditampilkanlah tarian “sajo”, yang ditarikan oleh seorang gadis penari. Biasanya penari sajo ini “ ri cebbang “ ( diberi hadiah )oleh kerabat dan handai taulan. Yang ditafsirkan sebagai refleksi “citra” kepribadian “sang penari”. Semakin banyak orang yangyang “ma’cebbang” semakin baik reputasi sang penari. Jadi tari “ Sajo” adalah sarana sosialisasi bagi sang penari dan sekaligus adalah sarana pendidikan untuk mengembangkan kepribadian ( Social Behavior ) yang prima.
            Dalam protokoler adat Luwu, dengan dipertunjukkannya tarian “ Sajo” maka acara secara resmi dinyatakan telah selesai. Selanjutnya acara berlangsung secara santai, informal dalam suasana kekeluargaan

Dalam Rangka HUT Tana Luwu Ke 748 dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu Ke 70 Tahun 2016 Di Malili Luwu Timur 

 H. Andi Maradang Mackulau, SH Opu To Bau (Datu Luwu XL) Sekarang



Tari Pajaga

Adapun tari Pajaga yang dipertunjukkan pada acara ini berjudul “ Ininnawa Mappatakko’ “. Sesuai dengan syair pengiringnya yang selengkapnya adalah sebagai berikut :
“ Ininnawa Mappatakko’
Alai-pakkawaru
Toto’ teng-lesangmu “ 
 Yang secara bebas berarti :
“ Tabahlah wahai jiwa,
Jadikanlah pegangan hidup
Bahwa segala yang menimpa dirimu
Adalah takdir dari Yang Maha Kuasa
Yang tidak dapat dielakkan “
pertunjukan tari Pajaga. Esensi dari gerak dan irama 
tari Pajaga adalah latihan (exercise ), semedi ( Meditative ) 
berupa pengendalian diri, membangkitkan kepekaan
 ( Sensitiveness ) serta membangkitkan 
tenaga atau energi batin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar