Sri Paduka Datu Luwu di suguhi “Akka” (suguhan) berupa 12 bosara kiaje yang masing-masing di bawa oleh seorang gadis “ Panggolo” ( pelayan ). Di dalam acara “ Mattoana “ ini, berlaku kaidah adat Luwu yang mengatakan “ Mangngati Maneng Akka’ Rakinna “ yang berarti bahwa “Akka’ “ seluruh Pada’ ( Undangan ) yang hadir mengikuti “ Akka’ “ dari Sri Paduka Datu Luwu yang berarti bahwa apabila “Akka’ “ dari Sri Paduka Datu Luwu telah dianggap sempurna, maka tidak seorang pun yang boleh protes atas “Akka’” (suguhan ) bagi dirinya. Itu adalah simbolisme bahwa Sri Paduka Datu Luwu adalah symbol keharmonisan dan ketertiban social.
Penyambutan Tamu Kehormatan Dalam Prosesi Adat Luwu
Penyambutan tamu
kehormatan dalam prosesi Adat Luwu selain bersifat Seremonial juga bersifat
Ritual.
1.
Ripaduppa Lellung
( di sambut dengan tenda kebesaran )
2.
Ri Rettoang Awo’ La Gading
(
di pasangkan Bambu Kuning )
3.
Ri Pasessu Ri Manrawe
(
di Lewatkan di Manrawe )
4.
Ri Pasitangkereng Lawolo’E
(
disesuaikan Lawolo’E )
5.
Ri Pabbisa Aje
(
di Cuci Kakinya )
6.
Ri Palejja’ Tana Menroja
(
di injakkan pada tanah yang di sucikan )
7.
Ri patuddu’ Umpa Sikati
(
di hentakkan kakinya di atas sumpah suci )
8.
Ri Watalawolo
(
di naikkan dengan Lawolo )
9.
Ri Ompori Wenno Pulaweng
(
di hamburi betih keemasan )
10. Ri Pallibu’ Ri
Lamming Pulaweng
(
di kelilingkan di pelaminan )
11. Ri
Palejja’ Rilebba’ Janna
(
di injakkan diatas ukuran telapak kaki )
12.
Ri Pakerru Sumange’
(
di doakan untuk memulihkan semangat )
13. Ri Papasangi Lingkojo Sabbe
14. Ri Gella
15. Ri Toana
16. Ri ajjasang
PENJELASAN
Di depan Tabu-tabuang atau gapura pintu
gerbang pintu LangkanaE ( Keraton Kedatuan Luwu ) turun dari “Sinrangeng
LokkoE” atau usungan adat,lalu berdiri di bawah naungan “Lellung” (tenda
kehormatan).
Sebelum melangkah,tamu kehormatan di
persilahkan oleh “Sanro Padduppa” atau dukun penjemput untuk memegang “Lola”
(gelang emas yang di kaitkan pada ujung “Lawolo” (selembar kain Patala atau
kain sutra kalasik berwarna merah yang
di jahit dengan selembar kain berwarna putih).
Kemudian tamu kehormatan di persilahkan
pindah di bawah naungan “Lellung” (tenda kehormatan) penjemput.
Acara ini di sebut “Ri Padduppai
Lellung” atau di sambut dengan “Lellung”. Kemudian tamu kehormatan di bombing
oleh “Saqnro Padduppa” melangkah di atas
karpet yang berwarna putih di sebut “Talettu” menuju tangga LangkanaE.
Setelah
melewati tabu-tabuang maka sepasang bamboo kuning di sisi kiri dan kanan di
patahkan besi-besi kecil seperti gula-gula kue-kue yang di gantungkan pada
ranting bambu kuning itu di perebutkan oleh khalayak.
Acara itu di sebut ”Rettoang Awo’
Lagading” atau “di patahkan bamboo kuning” yang bermakna symbolis bahwa
kedatangan tamu kehormatan itu membawa berkah dan di sambut dengan gembira atas
seluruh lapisan masyarakat.
Setelah itu tamu kehormatan di bimbing
oleh semua Padduppa melewati sebuah gerbang kecil yang terbuat dari 9 pasang
tombak yang saling di silangkan. Ke 9 pasang tombak itu berwarna
merah,putih,kuning dan hitam yang melambangkan empat unsure alam yaitu
tanah,air,api dan udara.
Gerbang kecil itu di sebut “Menrawe”
,karena itu acara itu di sebut “Ri Pasessu ri Manrawe” atau di ”lewatkan di
Menrawe”.
Sejak itu tamu kehormatan harus berdiam
diri dan tidak boleh menyebut satu katapun sampai seluruh rangkaian ritual
acara prosesi Adat penyambutan itu selesai.
Setelah mencapai di kaki “Sapana”
(tangga LangkanaE),maka tamu kehormatan berhenti sejenak,lalu terjadi dialog
antara “Sanro Padduppa” dengan “Sanro Pallawolo” di bagian atas tangga Sapana.
Dialog di dalam bahasa Bissu itu antara lain
mempertanyakan siapa gerangan tamu kehormatan itu dan apa maksud kedatangannya.
Acara itu di sebut “Ripasitangkereng
LawoloE” atau penyesuaian Lawolo yang bermaksud menjelaskan kepada khalayak
siapa dan apa maksud kedatangan tamu kehormatan tersebut.
Setelah dialog itu selesai maka kedua
belah kaki tamu kehormatan itu di cuci dengan air yang telah di sucikan.
Acara ini di sebut “Ri Pabbissa Aje”
atau langkah kakinya di sucikan.Sesudah itu kedua telapak kaki tamu kehormatan
tersebut di usapi dengan sejumput tanah yang telah di sucikan.
Acara itu di sebut “Ripalejja Tana Menroja”atau di injakkan
pada tanah yang suci. Hal itu bermakna bahwa tamu kehormatan itu mempersaksikan
kepada tanah atau Bumi Luwu akan kesucian maksud kedatangannya.
Kemudian tramu kehormatan di
persilahkan menghentakkan kakinya di atas sebuah periuk tanah berisi
beras,sebiji telur dan sekeping uang logam. Di atas periuk tanah tersebut
terletak sekeping sumpah tertulis yang di sebut “Umpa Sikadi” atau Sumpah Keemasan. Hentakan kaki tamu kehormatan
itu,karena cukup kuat untuk memecahkan periuk tanah tersebut dengan sekali
hentakan yang melambangkan “Kebulatan hati’ dan tamu kehormatan tersebut melakukan
sumpah itu “tanpa ragu”.
Periuk berisi beras dan selembar uang
melambangkan “Kesejahteraan hidup” dan tamu kehormatan yang akan pecah sampai
pada keturunannya yang di lambangkan dengan sebiji telur,apabila sumpah itu
tidak sesuai dengan niat suci kedatangan tamu kehormatan tersebut.Acara ini di
sebut “Ripattddu Umpa Sikati” atau di hentakkan pada sumpah yang suci.
Setelah itu,”Sanro Pallawolo” atau “Dukun
Pemimpin Upacara” perlahan-lahan menarik “Lola” atau gelang emas pada ujung “Lawolo”, sementara tamu kehormatan ikut menarik tangga “Sapana” sambil tetap berpegang pada
“Lola” di ujung “Lawolo” yang lain.
Acara ini di sebut “Riwata’ Lawolo” (di naikkan dengan
Lawolo), yang bermakna bahwa tamu kehormatan tersebut telah di terima secara
resmi untuk mengikuti ritual penyambutan Adat Luwu selanjutnya.
Sebelum menjadi “Lamming Pulaweng” atau “Singgasana
Kedatuan Luwu”, tamu kehormatan di bombing mengelilingi “Lamming Pulaweng”
sebanyak tiga kali.
Acara ini di sebut “Ri Pallibu’ Ri Lamming Pulaweng” atau
di kelilingkan di singgasana,yang bermakna bahwa; sebelum tamu kehormatan
memutuskan untuk di naikkan ke atas “Lamming Pulaweng” atau singgasana maka
tamu kehormatan lebih dahulu memeriksa segala seginya yang bermakna bahwa
kesediaan melaksanakan ritual selanjutnya di lakukan dengan penuh kesabaran.
Setelah merasa yakin,maka tamu
kehormatan di persilahkan menginjakkan kaki di atas tiga keeping logam yang
berbentuk ukuran telapak kaki dari tamu kehormatan. Di atas ketiga keping logam
itu terdapat seekeping emas,perak dan perunggu. Acara ini di sebut “ Ri
Palejja’ ri Lebba’ Janna” atau di injakkan pada telapak kaki suci, yang
bermakna bahwa keputusan untuk menaiki singgasana untuk melakukan ritual
selanjutnya di lakukan dengan “Langkah kaki” yang sudah suci.
Setelah itu,tamu kehormatan di
dudukkan di atas “Lamming Pulaweng”. Acara ini di sebut “Ri pacokkong Ri
Lamming Pulaweng” atau di di dudukkan di atas singgasana.
Setelah itu,”Sanro
Pallawolo”mengentakkan sebuah kain kuning yang telah di asapi kemenyan yang di
bakar ke seluruh tubuh tamu kehormatan sambil di iringi dengan mengucapkan doa
keselamatan. Acara ini di sebut “Ri pekerru Sumange” (mengembalikan
semangat),sebagai manifestasi dari “Pajung Luwu” dengan segenap “Dewan Adat
Seppulo Dua” beserta seluruh masyarakat Adat Luwu agar semua sukma dan jiwa raga
tamu kehormatan senantiasa sejahtera.
Setelah itu,di laksanakanlah puncak
acara prosesi adat penyambutan tamu kehormatan yaitu memasangkan seperangkat
pakaian Adat {Luwu kepada tamu kehormatan.
Acara ini d sebut “Ri papasangi Lingkojo
Sakke” atau “di pasangi pakaian kehormatan” yang merupakan symbol penghormatan
tertinggi dalam prosesi penyambutan Adat Luwu.
Kemudian,Opu To Malompo selaku
petugas Protokoler Adat Istana Kedatuan Luwu mengumumkan pemberian gelar kehormatan
Adat kepada tamu kehormatan. Acara ini di sebut “Ri Gella” atau “di beri
gelar”. Setelah itu acara selanjutnya lebih bersifat seremonial yaitu acara
“Ritoana” (menjamu hadirin secara Adat).
Sri Paduka Datu Luwu di suguhi
“Akka” (suguhan) berupa 12 bosara kiaje yang masing-masing di bawa oleh seorang
gadis “ Panggolo” ( pelayan ). Di dalam acara “ Mattoana “ ini, berlaku kaidah
adat Luwu yang mengatakan “ Mangngati Maneng Akka’ Rakinna “ yang berarti bahwa
“Akka’ “ seluruh Pada’ ( Undangan ) yang hadir mengikuti “ Akka’ “ dari Sri Paduka Datu Luwu yang berarti bahwa
apabila “Akka’ “ dari Sri Paduka Datu Luwu telah dianggap sempurna, maka tidak
seorang pun yang boleh protes atas “Akka’” (suguhan ) bagi dirinya. Itu adalah
simbolisme bahwa Sri Paduka Datu Luwu adalah symbol keharmonisan dan ketertiban
social.
Sambil menikmati suguhan ( Akka’ ) hadirin akan dihibur
dengan pertunjukan tari Pajaga. Esensi dari gerak dan irama tari Pajaga adalah
latihan (exercise ), semedi ( Meditative ) berupa pengendalian diri,
membangkitkan kepekaan ( Sensitiveness ) serta membangkitkan tenaga atau energi
batin penarinya. Adapun tari Pajaga yang dipertunjukkan pada acara ini berjudul
“ Ininnawa Mappatakko’ “. Sesuai dengan syair pengiringnya yang selengkapnya
adalah sebagai berikut :
“ Ininnawa Mappatakko’
Alai-pakkawaru
Toto’ teng-lesangmu “
Yang secara bebas berarti
:
“ Tabahlah wahai jiwa,
Jadikanlah pegangan hidup
Bahwa segala yang menimpa dirimu
Adalah takdir dari Yang Maha Kuasa
Yang tidak dapat dielakkan “
Sesudah pertunjukan
beberapa kali tari pajaga maka
dipertunjukkan/ditampilkanlah tarian “sajo”, yang ditarikan oleh seorang gadis
penari. Biasanya penari sajo ini “ ri cebbang “ ( diberi hadiah )oleh kerabat
dan handai taulan. Yang ditafsirkan sebagai refleksi “citra” kepribadian “sang
penari”. Semakin banyak orang yangyang “ma’cebbang” semakin baik reputasi sang
penari. Jadi tari “ Sajo” adalah sarana sosialisasi bagi sang penari dan
sekaligus adalah sarana pendidikan untuk mengembangkan kepribadian ( Social
Behavior ) yang prima.
Dalam protokoler adat Luwu, dengan dipertunjukkannya
tarian “ Sajo” maka acara secara resmi dinyatakan telah selesai. Selanjutnya
acara berlangsung secara santai, informal dalam suasana kekeluargaan
H. Andi Maradang Mackulau, SH Opu To Bau (Datu Luwu XL) Sekarang
Tari Pajaga
Adapun tari Pajaga yang dipertunjukkan pada acara ini berjudul “ Ininnawa Mappatakko’ “. Sesuai dengan syair pengiringnya yang selengkapnya adalah sebagai berikut :
“ Ininnawa Mappatakko’
Alai-pakkawaru
Toto’ teng-lesangmu “
Yang secara bebas berarti :
“ Tabahlah wahai jiwa,
Jadikanlah pegangan hidup
Bahwa segala yang menimpa dirimu
Adalah takdir dari Yang Maha Kuasa
Yang tidak dapat dielakkan “
pertunjukan tari Pajaga. Esensi dari gerak dan irama
tari Pajaga adalah latihan (exercise ), semedi ( Meditative )
berupa pengendalian diri, membangkitkan kepekaan
( Sensitiveness ) serta membangkitkan
tenaga atau energi batin
Dalam Rangka HUT Tana Luwu Ke 748 dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu Ke 70 Tahun 2016 Di Malili Luwu Timur
Tari Pajaga
Adapun tari Pajaga yang dipertunjukkan pada acara ini berjudul “ Ininnawa Mappatakko’ “. Sesuai dengan syair pengiringnya yang selengkapnya adalah sebagai berikut :
“ Ininnawa Mappatakko’
Alai-pakkawaru
Toto’ teng-lesangmu “
Yang secara bebas berarti :
“ Tabahlah wahai jiwa,
Jadikanlah pegangan hidup
Bahwa segala yang menimpa dirimu
Adalah takdir dari Yang Maha Kuasa
Yang tidak dapat dielakkan “
pertunjukan tari Pajaga. Esensi dari gerak dan irama
tari Pajaga adalah latihan (exercise ), semedi ( Meditative )
berupa pengendalian diri, membangkitkan kepekaan
( Sensitiveness ) serta membangkitkan
tenaga atau energi batin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar